Diantara Karang dan Ombak *Mappanretasi_Lomba http://www.tulis-nusantara.com

Mengejar deadline hari jum'at itu tak terasa capeknya, ikut berpartisipasi di lomba itu aku sudah amat senang walaupun bukan menjadi sang juara. Bukan juga 50 besar nominasi. Tak apalah, akan kucoba lagi nanti.



Mentari masih diberi kekuatan untuk membiaskan jingganya di senja sore itu. Tampak pelepah nyiur yang dibelai angin senja, terambing kekanan dan kekiri bahkan tak jarang mengepak-epak memutar menghadap langit. Angin juga membelai lembut rambut Mayang yang tergerai. Gadis belasan tahun yang sedari tadi duduk beralaskan pasir putih pantai Pagatan. Pandanganya tak lepas dari benda unik di telapak tanganya. Apakah benda itu tak begitu jelas, hanya mirip dengan sesuatu yang bisa di gantung. Lebih mirip dengan dreamcatcher (Dalam budaya asli Amerika, dreamcatcher adalah benda buatan tangan berdasarkan lingkaran willow, yang ditenun jaring longgar kemudian dihiasi dengan benda-benda seperti bulu-bulu dan manik-manik). Dia melirik arlojinya dan beranjak dari tempat tadi. Sesaat mengibas-ibaskan pasir yang menempel di rok abu-abunya. Berjalan dengan sepatu ket yang ia tenteng dengan kedua tanganya. Laut sudah hampir pasang, hanya beberapa meter saja bagian pantai yang belum tenggelam. Dimana Mayang? Ah,,,Dia sudah membawa Mio birunya ditelan tikungan.
***  
Senja, ku ukir namamu di atasnya
Bersama ombak yang datang dan pergi
Merengkuh jasad dalam hangatnya pelangi
Hai, si pemilik nama,
Sadarkah kau ketika ku sebut namamu?
Terdesirkah hatimu ketika ku panggil namamu?
Mayang menutup buku diary hijaunya, dan berniat menggantungkan goresan yang tak berjudul itu. Sudah rapi dengan seragam putih abu-abu yang terlihat licin. Pandanganya kebatas jendela, benda unik itu tergantung disana. Mayang tertunduk, menahan air mata yang sudah menganak sungai di ujung matanya. Dan tak tertahan lagi. Mayang sesenggukan. Entah apa yang membuatnya menangis. Apakah benda unik itu? Atau goresan yang masih menggantung? Entahlah. Seseorang mengetuk pintu kamarnya dan mengatakan kalau Dewi sudah menunggu diluar. Segera Mayang meraih tas, sekedar merapikan rambut hitamnya dan mengusap sisa air mata di depan cermin. Mayang memanggil ibunya, terdengar sahutan ibunya dari dapur. Mayang meraih tangan ibunya, mencium punggung dan telapak tangannya. Ibunya tersenyum dengan suara yang tertahan karena Mayang sudah mengucapkan salam sebelum berhasil mengucapkannya. Mungkin ibunya ingin menawarkan sarapan yang sedikit lagi siap. Ibunya menggelengkan kepala dan membalas salam putri semata wayangnya itu. Mayang berlari keluar menemui sahabat dan juga teman sekelasnya di SMA 5 Pagatan. Mereka berdua sengaja berjalan kesekolah hari ini. Padatnya awal pekan mungkin itulah alasanya. Lima belas menit berjalan kaki lebih baik dari pada harus hampir satu jam tersendat oleh banjir kendaraan. Pak Rahmad dengan seragam security lengkap dengan aksesorisnya bersiap merapatkan gerbang sekolah. Tampak beberapa siswa berlari, tak terkecuali Mayang dan Dewi. Mereka berdua berlari sambil berteriak pada pak Rahmad untuk menunggu mereka masuk. Pak Rahmad meneriaki mereka untuk lebih cepat. Riuh hentakan sepatu sontak berubah. Kini kata-kata melas dari siswa-siswi yang liar karena tak sempat lagi masuk karena gerbang sekolah sudah rapat dengan gembok yang besar di pengaitnya. Terlambat. Konsekuensi berdiri di lapangan dengan menempelkan ujung telunjuk pada pelipis (posisi hormat) selama sepuluh menit. Syukurlah Mayang dan Dewi tidak terlambat. Kelas mayang ada di lantai dua dekat dengan ruang BP. Dari jendela ruang BP terlihat sosok yang asing baginya. Menoleh dan tersenyum padanya. Mayang celingukan. Matanya mencari seseorang lain yang mungkin mendapat senyum dari orang tadi. Nothing. Di sampingnya hanya ada Dewi yang sibuk dengan ocehanya tentang PR kimia yang belum selesai di kerjakan dan berniat meminjam PR Mayang. Tanpa respon Mayang masih dengan posisinya yang setengah berbalik hanya sudut matanya saja yang menelisik merasa aneh mendapat senyum dari orang asing itu. Dewi menyeggol bahu Mayang yang tak merespon ucapannya. Mayang tersadar dan hanya bisa mengiyakan dengan anggukan kecil atas apa yang di kehendaki sahabatnya itu.
Petugas pembaca Al-Asma’ul Husna menyelesaikan bacaanya disusul dengan bel empat kali tanda pelajaran terakhir usai. Dewi cepat-cepat membereskan barang-barang miliknya yang memenuhi meja. Dia beranjak dan melambaikan tangan pada Mayang. Mayang membalas dan berpesan untuk hati-hati di jalan. Dewi sudah tak terlihat lagi. Pantas saja dia dapat julukan Miss laju (bahasa banjar yang artinya cepat) jalanya memang super cepat. Mayang juga beranjak dari duduknya. Dalam gumamnya dia akan merasa sepi tanpa Dewi yang suka ngejoke dalam perjalanan yang membuat langkah kaki tak terasa membawanya sampai rumah. Mayang terpikir untuk kembali singgah di pantai pagatan. Satu bulan lagi acara besar ala masyarakat pagatan suku bugis akan digelar. *MAPPANRETASI.Acara tahunan yang rutin diadakan pada bulan April puncaknya pada minggu keempat bulan itu. Acara intinya adalah memberi makanan di laut yang juga termasuk arti dari mappanretasi itu sendiri. Ma’ppanre berarti memberi makan dan Tasi artinya laut (bahasa bugis). Nampak para petugas sudah mendirikan stand-stand panggung hiburan rakyat. Sebuah upacara adat yang di padukan dengan nuansa modern. Bukan hanya sebuah sajian budaya melainkan sebagai hiburan rakyat ala masyarakat Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Mayang berjalan santai bertelanjang kaki. Tanganya menenteng sepatu hitamnya. Pandanganya tertunduk. Mengikuti kakinya yang melangkah. Tiba-tiba langkah Mayang terhenti oleh sepasang kaki tanpa sepatu yang sekarang jadi fokusnya. Sontak Mayang terkejut mengadahkan kepalanya dan mencari tahu siapa pemiliki kaki yang menghentikan langkahnya. Kali ini seseorang yang tak asing baginya tapi Dia tak mengenal laki-laki yang mengenakan bet seragam persis denganya itu. Seperti pernah melihat disuatu tempat batinya. Laki-laki itu mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya. Bukanya menyambut tangan laki-laki itu Mayang malah bertanya apakah mereka pernah bertemu sebelumnya. Laki-laki pemilik senyum manis itu hanya tersenyum dan berkata bahwa mereka bertemu tadi pagi. Wajah penasaran Mayang tampak dari posisi kepalanya yang sedikit miring dan kening yang ia kernyitkan. Sugi, apakah dia anak baru telisik batin Mayang. Hei tangan Sugi masih dalam posisi mengajak berkenalan dan akhirnya ia tarik kembali menyadari Mayang tak ada niat untuk menyambutnya. Mayang berjalan menghindari ombak. Duduk di atas pasir dengan kaki terlipat kedepan dan kedua tangan yang ia lingkarkan disana. Sugi menyusulnya. Mereka berdua duduk berjarak satu langkah. Mayang memeperkenalkan dirinya sendiri dengan tatapan lurus ke laut luas dan bertanya pada Sugi apakah dia anak baru. Sugi membenarkan pertanyaan Mayang. Dia anak pindahan dari Jawa terangnya. Mayang mengangguk kecil dan diam. Sugi juga melakukan hal yang sama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut masing-masing. Sampai Mayang membuka kesunyian itu dengan berkata kalau hidup itu seperti ikatan senyawa garam yang kuat. Namun jika senyawa itu bereaksi maka akan ada efek negatif yang akan merugikan banyak orang. Sugi hanya mendengarkan dan membalas dengan berkata begitulah hidup tak ada yang sempurna, bahkan jika kita diberi hak untuk mengaturnya sendiri. Mayang menoleh pada Sugi dan merasakan senyum manisnya. Mereka saling menatap dengan berjuta tanya yang tersimpan di benak mereka masing-masing.
Mentari tak begitu terik. Angin pantai semakin membawa keadaan hening. Titik hujan mulai jatuh. Bukanya beranjak ke tempat lain untuk berteduh Mayang malah merentangkan tangan yang dari tadi memeluk kakinya. Dia memejamkan mata merasakan setiap butiran hujan yang jatuh diwajahnya. Sugi yang sudah beranjak dan berlari mencari tempat teduh menghentikan langkahnya. Menyadari kalau gadis yang bernama Mayang itu tak ikut bersamanya. Dia membalikan badan dan menghampiri Mayang yang ternyata menangis diantara gerimis. Sugi berdiri mematung seakan bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh Mayang. Hujan mulai deras. Mayang masih dengan posisi yang sama. Sugi tak tega melihat semua itu. Menarik tangan kanan Mayang dan membawanya lari ke tempat yang bisa menjaga mereka dari rinai hujan. Sugi mengeluarkan jaket dari dalam tasnya. Jaket itu bukan untuk dirinya, tapi ia kenakan pada Mayang yang masih menangis. Mayang mengucapkan terimakasih dan mulai bercerita panjang lebar. Tak ada yang menyuruh. Di saat seperti ini Sugilah yang menjadi pendengar setia. Mayang bercerita tentang seseorang yang sangat berarti baginya. Seseorang itu adalah mahasiswa praktek yang kebetulan pernah tinggal dirumah Mayang beserta kelompokknya. Namanya Fahmi. Keluguan Mayang yang masih kekanakan membuat Fahmi nyaman bercanda dengannya. Dan umur Fahmi yang lebih diatas Mayang mampu memberi perlindungan yang nyaman. Hingga akhirnya mereka berdua manjalin hubungan yang serius. Mereka berdua saling mencintai. Keduanya merasakan kecocokan. Hari-hari mereka selalu di warnai dengan tawa.
Angan dan takdir. Tak ada yang tahu apa akan yang terjadi besok bahkan satu detik setelah ini. Begitulah nasib yang mengantarkan mereka di antar jurang pemisah. Mereka terpisah oleh maut. Fahmi mengalami kecelakaan tunggal di tanjakan Batulicin yang tajam setelah menyerahkan hadiah dreamcatcher oleh-oleh untuk Mayang yang dibawa Fahmi dari Jogjakarta. Na’asnya Mayang baru mengetahui kabar itu setelah tujuh hari setelah kematian Fahmi dari seseorang yang mengangkat telephone seluler milik Fahmi yang baru saja diperbaiki. Di pantai pagatan inilah terakhir kali mereka bertemu. Oh, jadi itu yang membuat mayang nampak sedih melihat benda unik itu? Sugi dengan setia mendengarkan kisah gadis yang baru saja ia kenal itu. Mayang meminta ma’af karena sudah membawa Sugi pada cerita Mayang terlebih lagi karena mereka baru saja mengenal. Sugi menimpali dengan pandangan tak lepas dari sosok gadis didepanya yang sesenggukan bahwa hidup ini adalah harimu, Hanya hari ini. Usiamu hanya satu hari ini. Berpikirlah bahwa kamu lahir hari ini dan mati hari ini. Masa lalu yang telah pergi dan usai, tenggelam seperti Matahari. Hari esok yang bertahta di atas singgasana maya  belum pernah tercipta. Genggam erat kata yang ada dalam kamus kebahagiaan bagi siapa saja yang menginginkan hidup dalam bentuk yang paling menawan. Wih,, dalem dan bijak memang ya kata Sugi yang ia kutip dari sebuah buku berjudul Be Yourself karangan Abdullah Al-Qarni itu. Terimakasih. Kata itulah yang meluncur bebas dari mulut Mayang. Sugi tersenyum mendengarnya. Kenapa? Entahlah apa makna senyuman Sugi. Yang pasti ada sinar lain yang terpancar dari matanya ketika memandang Mayang. Keduanya memutuskan untuk segera pulang. Walau hujan belum habis rinainya. Tak di sangka rumah mereka melewati jalan yang sama. Mereka berdua memakai jaket Sugi sebagai payung. Sejaket berdua. Bisa kalian bayangkan jaket itu tak mampu menghalangi rintik hujan membasahi lengan mereka. Jarak rumah Sugi lebih dekat dari pantai. Sedangkan Mayang meneruskan perjalanan seorang diri dengan jaket Sugi sebagai payung. Dalam kesendirian itu senyum Mayang tersimpul jelas di wajahnya. Sepertinya ada sesuatu dianatara Mayang dan Sugi. Apakah itu, perasaan cinta, kasian atau apalah namanya. Hanya mereka yang bisa memutuskan. Di kamar yang baru dua hari Sugi tempati itu terasa hangat oleh senyum mayang yang bayangnya selalu muncul setiap Sugi memanggil nama itu. Ini aneh gumamnya. Di ruang yang lain. Mayang juga mengalami hal yang sama. Namun Mayang lebih suka menjadikanya sebagai goresan dan di baris terakhir ia menuliskan sederet kata yang bunyinya “Dia, telah mencuri hatiku”. Mayang menutup kembali buku diarynya. Berdiri menghampiri benda yang tergantung di jendela. Melepaskan ikatanya dan meletakanya di dalam laci di atas sebuah figura. Dan menuju tempat tidurnya dengan senyum yang masih mengambang disana. Mungkin itu figura foto Fahmi. Apa ya artinya? Apakah Mayang sudah bisa move on?
***
Minggu terakhir di bulan April. Puncak pesta pantai (mappanretasi). Upacara adat yang bertujuan untuk mengucap rasa syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rezeki lautnya untuk masyarakat setempat. Di awali dengan melarung (menghanyutkan) sesajen. Isinya berupa sesisir pisang barengseng (sebutan untuk salah satu jenis pisang), nasi ketan warna-warni (putih, hitam, kuning, dan merah jambu) lambang empat unsur yang ada di bumi. Mayang tak ingin melewatkan upacara adat yang sakral itu begitu saja. Walaupun Dia bukan penduduk asli suku bugis, Menikmatinya sebagai bahan pengetahuan tak ada salahnya pikirnya. Dia datang sendiri. Karena sahabatnya Dewi sibuk dirumah bersama keluarga besarnya menyiapkan keperluan upacara. O, Dewi keturunan bugis ya? Sedangkan ibunya angkat tangan ketika Mayang mengajak beliau untuk pergi. Hasilnya Mayang seorang diri menikmati kesakralan upacara. Sesajen yang sudah disiapkan dibawa ketengah laut bersama kapal-kapal nelayan yang sudah dihias dengan pernak-pernik. Kapal-kapal itu menggiring kapal utama yang membawa ayam jago hitam. Persiapan sudah siap. Tampak sandro (pemimpin adat) yang memakai Songko Recca (kopiah khas orang bugis) dan pakaian yang didominasi warna kuning dengan semua pengiringnya yang terdiri dari 6 laki-laki dan 6 perempuan dan beberapa perangkat daerah yang turut hadir di kapal utama. Sandro memberi aba-aba bahwa kapal akan segera berlayar ketengah laut pada titik yang sudah ditentukan pada malam sebelumnya. Sebelum kapal-kapal itu berlayar jauh. Mayang memberanikan diri mendekat dan mengambil gambar dengan kamera miliknya yang ia inginkan. Setelah dirasa cukup puas mengambil gambar. Dia menyadari kalau seperempat tubuhnya basah. Mendekati bibir pantai dan berniat untuk pulang. Awalnya Dia juga ingin menikmati hiburan rakyat. Panggung-panggung yang akan diramaikan oleh artis-artis ibukota. Melihat kondisi yang seperti itu. Mayang mengurungkan niatnya. Mayang pulang dengan mio birunya. Setelah acara puncak itu maka acara yang hampir sebulan penuh dengan berbagai acara seperti pameran dan pasar murah akan segera berakhir.
***
Apa kabar dengan Sugi dan Mayang ya? Akankah ada tirai indah yang terbentang untuk mereka? Tak akan ada yang tahu. Selain waktu yang mmbawa mereka kesana. Pagi itu Sekolah SMA 5 pagatan berjalan seperti biasa. Masih saja ada beberapa murid yang berdiri dengan posisi hormat di lapangan. Sugi menuliskan surat di atas kertas warna hijau yang ia selipkan pada salah buku milik Mayang pas istirahat tadi. Kenapa tak memberikanya secara langsung ya? Kalau Mayang ada disana waktu itu mungkin Sugi akan memberikanya secara langsung. Coba tebak apa isinya? Apakah Sugi mengutarakan perasaanya? Atau Sugi mengajak Mayang makan siang bareng atau mungkin saja pertanyaan LOL, Sugi meminta Mayang mengembalikan jaket miliknya,,,,he. Mayang yang baru saja datang dari kantin bersama Dewi membicarakan acara Mappanretasi kemarin. Bagaimana terkesanya Dewi dengan acara yang di gelar kemarin. Dan bel masuk jam pelajaran selanjutya berbunyi. Ibu Yuni guru biologi sudah masuk. Berharap Surat kecil Sugi terselip di buku biologi Mayang dan membaca suratnya. Penasaran. Perasaan Mayang gundah. Diapun tak tahu apa penyebabnya. Fokusnya hilang pada pelajaran ibu Yuni. Pensil yang ia pegang menuliskan nama seseorang. SUGI. Mayang baru ingat kalau dia sekarang masih di kelas, ketika ibu Yuni bertanya apakah fungsi dari xylem padanya. Mayang terdiam. Kakinya menyenggol kaki teman sebangkunya. Dewi. Dia berkata tidak tahu dengan sedikit berbisik. Karena seisi kelas tidak ada yang bisa menjawab maka ibu Yuni menjelaskan kembali tentang materi siang panas itu. Kasian ibu Yuni. Dewi menulis sesuatu di bukunya. Kebiasaan mereka berdua sebagai alternatif ngobrol tanpa mengeluarkan suara. LOL. Dewi bertanya kenapa tumben sekali Mayang gak fokus pada pelajaran biologi (Mapel favorit Mayang). Mayang membalasnya dengan empat huruf yang ia tuliskan dibawah pertanyaan Dewi. SUGI. Dewi terkejut tanpa sadar ia mengeluarkan suaranya “APA?”. Sekarang semua mata tertuju pada Dewi. Tak terkecuali ibu Yuni. Dewi minta ma’af kepada semua teman-teman dan terutama ibu Yuni. Ketika keadaan kelas sudah normal. Kembali Dewi melanjutkan obrolan mereka dan bertanya pada Mayang apakah dia serius? (Wah kenapa Dewi bertanya begitu ya? Apakah mungkin karena selama ini Fahmi tak tergantikan di hati Mayang dan bisa tergantikan oleh seseorang yang baru saja ia kenal? Mungkin saja. Di dunia ini apa yang tidak mungkin kecuali kata itu sendiri. Setuju gak?) Mayang tak menjawab. Dia memperhatikan penjelasan ibu Yuni. Berpura-pura lebih tepatnya. Lihat saja, tatapanya kosong. Pelajaran terakhir selesai. Dewi sudah menyiapkan sederetan pertanyaan yang sebentar lagi akan menghujani Mayang. Benar saja, Dewi bertanya ini itu. Mengapa begini mengapa begitu. Kenapa harus Sugi dan lain sebagainya. Mayang tak menjawab. Dia meminta ma’af pada sahabatnya itu dan berkata kalau dia ingin sendiri. Sebagai sahabat Dewi sangat mengerti sifat Mayang. Sekali dia berkata tidak maka jangan pernah mengganggunya. (Membayangkan wajah Dewi yang cemas, sedih juga). Tapi seperti biasa Mayang akan datang jika masalahnya tak mampu ia simpan sendiri. Mayang pulang. Mengucap salam namun tak ada respon dari ibunya. Dia memanggil ibunya berkali-kali mengecek semua ruangan. Nothing. Ibunya tak ada. Dia mengambil gelas dan menuangkan air minum. Pandanganya tertuju pada selembar kertas yang tertempel di pintu kulkas. Pesan dari ibunya pada Mayang untuk makan siang dan ibunya berkata akan pulang sore karena ada sesuatu yang perlu dikerjakan di toko. Mayang membuka tudung nasi. Dia memaksa makanan itu masuk kerongkonganya. Mayang tak ingin mengecewakan ibunya yang sudah susah payah membuat makanan itu. Ludes sepiring nasi sop dengan lauk tempe. Mayang masuk kamar. Pikiranya masih pada seseorang yang baru saja ia kenal dan mampu menghapus luka masa lalunya. Dia mengeluarkan isi tasnya dan berniat mengerjakan tugas dari ibu Yuni yang harus dikumpulkan besok. Namun kantuk menyapanya. Ia mengurungkan niatnya dan meninggalkan tumpukan buku itu begitu saja. Tampak kertas hijau yang terselip disana. (Ah gagal deh dibaca. Tambah penasaran.)
***
Di sebuah bangku ornament jepara. Seorang gadis dengan jilbab merah marun duduk membaca sebuah buku. Di atasnya daun ketapang rimbun meneduhkan. Pandanganya fokus pada isi buku. Kadang berhenti sejanak merenungkannya dan menganggukan kepalanya. Sepertinya bahasan yang ada didalamnya berat. Tertulis di sampul buku itu UNDESTANDING  AND USING ENGLISH GRAMMAR by Betty Scrampher Azar. Sesorang mengagetkanya dari belakang dan berkata pada gadis itu jangan terlalu banyak belajar nanti tambah pintar. LOL. Dibarengi dengan tawa keduanya orang itu berkata tentang rencana pulang kampung mereka yang tinggal seminggu. (Siapa mereka?. Ayo tebak!) Iya, Mayang dan Dewi. Sekarang mereka sudah menjadi mahasiswi universitas ternama di Jogjakarta. Ada yang berbeda dengan penampilan Mayang. Nampak lebih cantik dengan busana yang ia kenakan sekarang. Mereka sekarang sudah semester tingkat akhir dan sebentar lagi akan ada libur panjang semester ganjil. Mereka berencana untuk pulang ke Pagatan sekaligus melihat kembali upacara adat yang sedah 3 tahun tak di sambangnya. Dewi dan Mayang tak bisa pulang bersama. Ada sesuatu yang perlu di selesaikan terlebih dahulu oleh Mayang. Sedangkan Dewi sudah didesak orang tuanya untuk segera pulang. Dan Pastinya Mayang tak bisa melihat secara langsung upacara adat masyarakat bugis itu. Kenapa? Karena mayang tiba sehari setelah acara di gelar.
***
Sisa panggung-panggung hiburan masih ada yang bertengger dan dalam proses pembongkaran. Mayang melepas alas kakinya. Menghampiri ombak yang datang dan kembali memepermainkan pasir. Dia menyeka keringat di keningnya. Duduk tanpa alas di atas pasir putih yang sangat ia rindukan. Pagatan sekarang tambah panas batinya. Padahal mentari tak begitu terik. Dia meletakan selambar kertas yang dilipat di sebelah kirinya. Pandanganya lurus kedepan. dengan kaki lurus. kemudian dia melipatnya dan menenggelamkan kepala dengan jilbab kuning senada dengan blouse yang ia kenakan. Entah apa yang ada dipikiranya. Lama sekali dia tenggelamkan kepalanya dalam pelukan kaki yang terbalut rok hitam panjang. Mayang mengengadah setelah merasakan ada seseorang yang datang. Nothing. Tak ada siapa-siapa disana kecualai orang-orang yang sibuk membongkar panggung. Mayang berniat kembali ke posisi sebelumnya. Namun ia urungkan merasa ada sesuatu yang hilang. Lipatan kertas. Dimana? Mayang berdiri sedikit terhuyung dan hampir jatuh jika tak ada seseorang yang menahan tubuhnya. Keduanya saling menatap. Membisu di cekam pertanyaan-pertanyaan gantung yang tak mampu terucap. Lidahnya kelu. Masih dengan posisi yang belum berdiri sempurna. Mayang menitikan air mata. Nyesek semakin sesak. Sedangkan orang yang dari tadi menahan tubuh Mayang mengucapkan kata ma’af dan membantu Mayang duduk beralas pasir. (Siapa seseorang itu?) Mayang berkata bahwa dia yang seharusnya minta ma’af karena tidak datang menemuinya waktu Sugi pergi. Sugi berkata semuanya sudah berlalu dan banyak yang berubah (salah satunya penampilan Mayang) tapi hatiku tak pernah berubah. Mayang menatap Sugi. Sugi pun begitu (ingat pas mereka bertatapan) dan bertanya kenapa dia masih menyimpan surat itu? Karena aku rindu dengan penulis surat itu, terang Mayang. Sugi merogoh saku celana hitamnya. Sebuah kotak kecil handmade ia berikan pada Mayang dan menyuruhnya membuka. Mayang membuka kotak kecil itu. Sebuah cincin tak bermata. Polos berwarna emas. Sugi berkata. Maukah kau menjadi bagian dari sisa hidupku? Mayang menjawab setelah melingkarkan cincin itu di jari manisnya “Datanglah kepada ibuku bersama keluargamu” tuturnya. Diikuti senyum yang tersungging oleh keduanya. Disaksikan ombak pantai yang kadang menyisakan buih diantaranya.
___
Flash back 4 tahun lalu. Di kamar Mayang yang sudah siap dengan seragam sasirangan (kain batik khas Kalimantan Selatan) birunya. Dia menemukan surat itu dan inilah isinya.
Surat kecil Sugi
Hai, mayang.
Ku harap kau bisa mema’afkanku karena harus pamit dengan cara seperti ini. Tadi malam bibiku mengabarkan kalau ayahku sakit keras dan memintaku untuk segera kembali ke Jawa. Aku berangkat jam 12 siang ini. Jika sempat datanglah ke terminal. Aku ragu apakah aku masih bisa bertemu denganmu lagi atau tidak setelah ini. Karena aku tak bisa meninggalkan ibuku seandainya sesuatu terjadi pada ayah.
Mayang, mungkin terlalu dini untuk mengatakan ini. Tapi benar ini isi hatiku. Aku mencintaimu.
Sugi.
(Padahal baru seminggu Sugi pindah, sudah harus kembali). Mayang terduduk sejenak diatas ranjang empuknya yang rapi. Air matanya deras. Tak menyangka akan secepat ini berlalau kebahagiaan yang seumur jagung dirasakanya sejak kehadiran Sugi. Mayang berlari tanpa alas ke terminal yang tak jauh dari rumahnya. Berharap bis yang membawa Sugi di tunda dan Sugi masih disana. Riuh Para penumpang tampak. Dia mencari bis jurusan Banjaramasin. Menghampiri seluruh pintu bis yang terparkir disana. Pandanganya menyebar keseluruh ruangan. Tidak ada batinya. Mayang menyerah dia kembali dengan gontai. Luka baru mulai ada. Sejak saat itu Mayang tak pernah tau kabar tentang Sugi. Dimana dia sekarang. Apa yang dilakukanya dan apakah dia meneruskan sekolahnya. Mayang tak tahu. namun satu kalimat yang terucap olehnya kala itu. Aku akan menunggumu di batas pantai ini, gumamnya dalam isak.
(Apakah Sugi pernah datang ke Pagatan lagi?) Iya pernah bahkan tiap tahun setiap upacara Mappanretasi Sugi selalu datang. Dia juga menunggu Mayang datang dengan wajah lugu yang dulu ia kenal. Namun tak pernah bertemu Mayang. Kecanggihan alat telekomunikasi tak mampu menjawab. Entah mengapa selalu saja ada halangan.
Begitulah kalau Sang Penguasa tidak berpihak. Dan ada saatnya ketika DIA berpihak. Yaitu tepat hari ini. Kejadian di pantai ini. Pertemuan antara Mayang dan Sugi yang terpisah di antara jarak yang terbentang. Dengan waktu yang tak sebentar.
Merenungi
“Ketika Cinta Berbuah Surga”. Habiburahman El-Shirazy.

Comments

Popular posts from this blog

Bermodal SUKA ku Coba

Manfaat belajar introduction to Linguistics