Tersenyum Dalam Diam

Tersenyum Dalam Diam
By:Isfiyatul Khoiroh
                                   

Waktu itu panas dhuha telah berlalu. Mendidihkan  ruang kelas kami. Panasnya menyelinap   masuk entah dari mana asalnya, yang pasti kaca putih ini menambah panasnya ruangan berukuran 4x6 di lantai dua fakultas tarbiyah. Tak sedikit teman-temanku yang mencoba menciptakan angin buatan dengan mengipaskan tangan mereka sendiri. Memang berefek?

. Entahlah, toh keadaan itu tidak menggangguku. Kesunyian itu menyapaku  lagi. Benar, sosok tubuh ini seolah sedang duduk mendengarkan penjelasan Mrs. Mila dosen mata kuliah speaking kami. Tapi sebenarnya pikiranku mengapung. Menjelajah yang tak juga menemukan arah. Membawa ujung penaku melingkarkan garis seperti yang sering kalian lihat pada bentuk obat nyamuk bakar.
“Minggu depan kita mid-term” Jelas mrs.Mila.
“How about our topic Mam?”tanyaku. (kata-kata mid-term menghentikan tanganku memutarkan penaku sontak membawaku pada realita kalau aku sedang berada di kelas speaking.
“Please, study all of our topic” mrs. Mila tersenyum padaku yang seolah membaritahuku bahwa tak akan susah kok. Aku membalas senyum beliau, sesaat kemudian keningku mengernyit.
“Oral?” tanyaku lagi.
Haha,,,,gelagak teman-temanku pecah. “Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?” tanyaku pada diri. Sementara mrs. Mila hanya melemparkan senyum itu lagi dan mengangguk padaku sebelum akhirnya keluar kelas.
“Hei Lili, kemana aja lo?” tegur Ida yang duduk di sampingku sambil menepuk bahu kananku kemudian berlalu. Hah,,, aku  tersenyum geli sekaligus malu tak karuan pokonya rasanya. Menyadari pertanyaan bodohku. Mata kuliah speaking_tertulis. Kalian pernah mengalaminya??
***
Bulan penuh  malam ini. Sinarnya menenangkan terbias dari fentilasi kamar kos ku. Entah aku yang berlebihan atau memang begitu adanya. Tapi memang begitulah yang kurasakan. Kulirik jam di layar handphoneku. Kutarik nafas dalam. Baru sadar kalau sudah cukup lama aku duduk di depan meja kecil spongebob ini terhitung setelah shalat isya’ tadi. Bayangnya mampir lagi. Mengusik hatiku. Memunculkan pertanyaan yang kubuat sendiri. Cinta sesaat, pelarian cinta atau sekedar mengisi kekosongan?. Ayo katakan sebutan apalagi yang cocok untukku. Terjerumus dalam sandiwara cinta. Semakin tak punya selera untuk beranjak tidur. Bergerak malas menuju jendela. Menatap jauh menyelami tirai malam dari balik jendela. Ada rasa rindu yang ingin tersenyum namun berderai air mata. Aku kembali membuka diary lusuhku yang berdebu. Lama tak kujamah. Ku alihkan bibirku membaca goresan di halaman terakhirnya.
Harum
Sesuatu yang melenyapkan kebusukan
Sesuatu yang  ada hadir karena ada yang dinamakan kegagalan
Berawal dari kepedihan untuk mencapai harum itu
Sesuatu yang harum itu kasturi
Campuran wewangian abadi yang ingin kunikmati bersamamu
Walau ternyata BERKABUT.
Kalau tidak salah setahun lalu aku menulisnya. Goresan terakhir yang kutulis untuknya di kertas merah hati ini. Setelah ku putuskan untuk benar-benar melupakan. Melupakan semua yang pernah ada diantara kami. Keraguan yang dulu pernah kurasakan tak pernah hilang. Sampai sekarang aku masih mengingatnya. Wajah teduh yang dipoles akhlaq bersahaja. Seseorang yang pernah menawarkan cinta dan aku membalasnya. Seseorang yang juga menggoreskan luka. Seseorang itu adalah kak Afif. Orang yang membuatku berarti berdiri  atas nama cinta. Membuatku percaya bahwa tak ada yang salah dengan “pacaran”. Memang tak ada yang salah kan dengan kata itu?. Kata yang kuteguk bersamaan dengan teh manis sarapan pagi ku. “Mencari ilmu itu berat goada’anya, godaan terbesarnya adalah pacaran”. Dari situ aku tersadar oleh makna di balik the manis abah setiap pagi. Bahwa menjaga hati perlu untuk satu hal yang pasti. Jika bukan satu hal yang pasti. Lupakan saja. Buanglah pada tempatnya. Seperti yang kuceritakan tadi. Kak Afif adalah seseorang yang meyakinkanku bahwa jika kita baik memaknainya. Tak akan ada yang yang fatal dengan pacaran. Prinsip yang yang kujaga akhirnya runtuh oleh pribadi seorang Afif. Aku juga kemudian membuka hati dan jalan pikir ku tentang hal ini. Baru beberapa bulan saja. Ku menikmati hubungan yang kami jalani. Saling memotifasi, belajar mengerti walau kadang aku sulit untuk memahami tapi kak Afif memiliki sejuta cadangan ma’af untuk keteledoranku tentang apapun, menegurku, mengingatkanku dan tak pernah lelah mengajakku untuk menjadi lebih baik. Dan sampai saat itu aku belum melewati kekhawatiran abah tentang efek pacaran. Hingga suatu malam. Kak Afif mengirimkan SMS.
“Neng!” panggilan kak Afif untukku
“Dalem,,,”jawabku (sahutan sopan yang digunakan orang jawa)
“Kakak mau minta ma’af”
“Untuk?” aku mulai gelisah
“Tapi Neng janji, gak akan marah dan benci dengan kakak!”
“Katakan kak”
“Janji?”
“iya”
“Tias adalah tunangan kakak”
Deg. Aku merasakan jantungku tak berdetak untuk sejenak. Kurasakan hangat dipelupuk mataku. Memanas, ada bendungan yang meronta ingin meluber. Dan tak tertahan lagi. Tangisku pecah. Air mataku berderai. Kak Afif mencoba menghubungiku. Mungkin ingin memastikan keadaanku. Lima panggilan tak terjawab.
“Neng baik-baik saja, Neng ngantuk, Neng ingin istirahat.” Ku kirimkan pesan padanya, aku tak ingin kakak melihatku yang sedang hancur.
“Ya, sudah. Kakak akan cerita lagi besok, sekarang Neng istirahat”
Tak mampu memejamkan mata. Tapi tangisku mulai reda, walau sesekali masih tersisa sesenggukan.Aku akan ceritakan siapa Tias. Dia adalah sahabatku di aliyah. Cantik,smart, humoris dan mudah bersosialisasi. Mungkin sifatnya itu yang membuat ku menjadi dekatdenganya. Kalian tidak salah ko’ dia memang sahabatku. Banyak kemiripan diantara kami. Bedanya adalah dia sangat luar biasa sedangkan aku lebih dari biasa. Tentu kalian tahu apa yang menusuk di hatiku.Ya, posisiku. Rasanya seperti terjepit dua pintu besi.Diantara sahabat dan cinta. Bukan sakit yang kurasakan, tapi teramat sangat sakit. “ katakanlah dengan jujur walau itu pahit”.sebenarnya aku berharap kejujuran itu tidak pernah ada. Karena aku telah terpatri. Melekatdihati kak Afif. Dia juga sudah terlukis indah dihatiku. Aku mencintainya, sangat. Dan sepertinya aku harus segera bangun dari mimpi panjangku, jika aku tak ingin luka yang meradang. Mimpi itu buyar, kabur, hilang bersama rembulan malam itu oleh fajar yang menyapa.
***
“Neng kakak ingin setia dalam satu hati dan berharga untuk satu cinta”. Kak Afif memecah kesunyian diantara kami.
“Maksud kakak?”
“Kakak sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan Tias, dia Cuma masa laluku”
“Kalian putus, dan  akulah penyebabnya kak?” ku rasakan hangat lagi di pelupuk mataku.
“Bukan Neng”
“Lalu?”
“Neng nggak perlu tahu, sekarang yang kakak minta, maukah Neng menjadi air untuk kaka?”
“Untuk?”
“Untuk mensucikan hati kakak, jika kakak boleh memilih maka kakak berharap untuk dipertemukan dengan neng terlebih dahulu, kakak sayang Neng” ada kejujuran dimatanya. Entahlah atau aku yang memang menginginkannya.
“kakak yaqin?” sekedar memastikan
Kakak menganggukan kepalanya dan menoleh kepadaku. Sempat kuterima pesan dari sorotmatanya “percayalah!”
“apa yang kakak inginkan?”
“bukan keinginan kakak, tapi keinginan cinta, kakak ingin kita memulai.”
Masih terbayang sosok Tias di sela-sela pikiranku. Bagaimana responya jika dia tahu hubungan kami. hatiku yang lain berkata “ kau tidak merebut milik orang lain”. Entah dari mana asal bisikan itu. Yang pasti mampu membuka mulutku umtuk berkata
“he’em” dengan anggukan kecil, kami saling melempar senyum.Terlepas dari jepitan pintu besi. Sedikit lega.
“Terimakasih neng”
“apa yang membuat kaka setenang ini?”
“tersenyum dalam diam”
“apa itu kak?”
“nanti neng akan tahu, setelah neng jadi istri kakak” beliau tersenyum
“hem,,,baiklah.”
***
Memulai lagi dari awal. Tak ada yang berubah. Sama seperti sebelumnya.  Kami semakin memiliki jalan cerah di depan sana. Rajutan merah hati dan hijau. Rencananya, kombinasi dua warna itu adalah tema baju pengantin kami. Hemm,,,terlalu jauh ya?. Ya itulah khayalan-khayalan kami. Seperti anak kecil ya?. Tapi tak apalah bunga-bunga cinta sedang bersemi dihati kami berdua. Ku juga tak merasa terbebani lagi dengan posisiki. Karena kak Afif adalah alasanku tetap bertahan di posisi ini. Ku pun juga belajar mengantongi banyak sabar menyikapi sisi lain perasaanku terhadap Tias. Dan kebohongan yang Tias dan kak Afif lakukan padaku sebelumnya. Tapi aku tak akan mencari siapa yang salah atau siapa yang harus bertanggung jawab.. Ternyata dari Tiaslah kak Afif tahu nomor handphoneku dan menyuruh beliau mengenalku.
Bukan aku yang mencarimu. Bukan kamu yang mencari aku. Tapi cinta yang pertemukan. Dua hati yang berbeda ini. (D’masive’s song).
Lagu itu kuputar dari playlist di hapeku untuk menemani belajarku malam itu. Dan  harus terhenti karena ada panggilan masuk.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam” Tias menelvonku.
***
“Tias nelvon neng” ku kirimkan pesan itu pada kak Afif
“kenapa di terima?”
“tak adaalasan untuk menolak”
“kenapa neng, apa ada sesuatu?”
“iya”
“apa?”
“sesuatu yangtidak pernah kakak katakana pada neng”
“apa yang mengesalkan dari kakak?”
Aku tak membalas sms kak Afif, Ada yang lebih penting dari itu menurutku, setumpuk tugas deadline minggu ini. Sehingga aku putuskan untuk membahasnya setelah tugas-tugas ku selesai. Hampir setengah hari aku mengerjakan tugas yang tersisa. Alhamdulillah selesai. Otakku sudah memiliki banyak ruang kosong. Ku mencoba mengirimkan pesan, tapi tak dibalasnya. Ku telvon pun juga tak dihiraukanya. Sikap orang dewasa kata beliau. Diam adalah pedang untuk melawan emosi. Beberapa hari berlalu, minggu bahkan hampir satu bulan tak ada kontak sama sekali. Menunggu adalah tamengku. Dalam penantian itu aku lebih bias menguasai diri. Atas sangkaan kak Afif yang  mengira aku marah. Sebenarnya tidak pernah ada emosi itu. Apapun perkataan orang lain mengenai kak Afif bisa kuterima Yang kutaku dan kukenal kak Afif adalah orang yang baik. Seperti saran beliau ketika ketika langkahdiam dirasa sudah cukup maka mintalah dengan kuat kepada Alloh SWT. Dan aku mencoba menghubungi nomor yang kuberi nama “wishbemine”. Hanya suara seperti hembusan angin. Tak ada jawaban bahkan nada khas panggilan pun tak ada, berakhir dengan pemberitahuan call ended. Aku mulai gelisah. Ku coba lagi menghubungi. Nihil, tak ada bedanya. “ya sudahlah” desahku dengan nafas terseret. Sesaat kemudian ada sms masu
Tias
Kenapa Li? Ne q ge ma maz Afif, nanti tak sampein klo qm von
Deg,,,,untuk kedua kalinya dan ini lebih sakit. Tak tahan lagi. Tangisku lepas di balik bantal yang menenggelamkan kepalaku. Melepaskan segalanya jika disuruh bercerita. Aku tak punya susunan kalimat untuk menjelaskan apa yang membuatku menangis sehebat ini. “Kalian” hanya kata itu yang mampu terucap disela tangisku.
***
“Begadang sampai jam berapa?tanya damai, yang tak kusadari kedatangannya telah membelakangiku
“eemmm,,,,gak begadang kok.”tak menoleh, aku masih focus pada jilbabku
“la itu,, kenapa mata sampai kayak panda gitu?” damai meletakkan kedua tanganya di bahuku dan memutar badanku sampai lurus berhadapan dengan tubuhnya
“Alloh akan memberikan yang terbaik untukmu, apapun itu” ku rasakan remasan tanganya di bahuku seolah memberi asupan semangat untukku. Hanya anggukan responku. Damai selalu tahu jika aku sedang dihimpit masalah, walaupun terkadang aku tak menceritakansemua masalahku. Dan dia pun juga tak memaksaku untuk bercerita.
“ok, duluan ya Li”
“take care”two tumbs up responya
Aku akan baik-baik saja dan aku akan bahagia untuk kalian, walaupun tak akan pernah terucap lisan.
Itulah makna yang ku temukan dibalik kalimat “Tersenyum dalam diam”
ku tuliskan kata ini pada diary lusuh itu dan ku tutup buku sampul merah hati yang akan seger menempati markas permanenya.
Banjarmasin, 15 november 2012


Comments

Popular posts from this blog

Bermodal SUKA ku Coba

Manfaat belajar introduction to Linguistics